Resume Empat Pilar Belajar menurut UNESCO
Menurut UNESCO
pendidikan meliputi empat pilar, yaitu;
1.
Learning
to know (belajar mengetahui)
2.
Learning
to do (belajar melakukan sesuatu)
3.
Learning
to be (belajar menjadi sesuatu)
4.
Learning
to live together (belajar hidup bersama)
1.
Learning to Know
Hakikat
Learning to Know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa
menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh
pengetahuan. Menurut Scheffler, pilar ini pada hakikatnya terkait dengan
relevansi epistemologi, yang mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik (pelajar/mahasiswa) terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji.
Pandangan
Scheffler tentang relevansi pendidikan sangat terkait dengan “learning to know”
pada tingkat pendidikan tinggi. Seperti halnya Phenix, Scheffler memandang
pentingnya pilar “learning to know” untuk berangkat dari disiplin ilmu
pengetahuan karena bagi mereka “mode of inquiry” dari disiplin ilmu adalah
bentuk yang paling tertinggi dari berpikir. Dalam kaitan ini dia menyatakan:
“In the revolutionary perspective, thought is an adaptive instrument for
overcoming enviromental difficulties. Scientific inquiry, the most highly form
of thought is the most explicity problem directed.”
Dari uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan pilar “learning to know” pada
tingkat pendidikan tinggi adalah penerapan paradigma penelitian ilmiah dalam
pelaksanaan perkuliahan. Dengan model pendekatan ini dapatlah dihasilkan
lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan
sendirinya akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.
Learning to do
Jika pilar
pertama, ”learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sehingga tercapai keseimbangan dalama penguasaan IPTEK antara
negara di dunia dan tidak lagi dibagi antara negara uatara-selatan, pilar
kedua, “learning to do” sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk
mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi
industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan ketrampilan motorik yang
kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan – pekerjaan
seperti “controlling, monitoring, maintaning, designing, organizing, yang
dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan
mesin. Dengan kata lain, menyiapkan anggota masyarakat memasuki dunia kerja
yang dalam “technology knowledge based economy”, belajar melakukan sesuatu
dalam situasi yang konkrit yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan
ketrampilan yang mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi,
bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi
penting.
Dalam kaitan
dengan “learning to do” perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler tentang
relevansi psikologis, maupun doktrin Whitehead tentang hakikat pendidikan
sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahuan. Ini berarti bahwa untuk
melahirkan generasi baru yang “intelligent” dalam bekerja, pengembangan
kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi sangatlah diperlukan.
Dalam kaitan ini, pada tingkat
pendidikan tinggi, mengandung makna atau berimplikasi tentang perlunya
pendidikan profesional pada pendidikan tinggi secara konsekuentif, bermuara
pada paradigma pemecahan masalah yang memungkinkan seorang mahasiswa
berkesempatan mengintegrasikan pemahanan konsep, penguasaan ketrampilan teknis
dan intelektual, untuk memecahkan masalah dan dapat berlanjut kepada inovasi
dan improvisasi.
3.
Learning to be
Tiga pilar
pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi
dan/atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam
memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran
terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan
adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya
adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No. 2 Th. 1989
adalah manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh
yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang
dapat mengendalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (tepo
sliro), atau dalam kamus psikologi disebut memiliki “Emotional Intelligance”.
Inilah kurang lebih makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar
belajar. Pendidikan yang berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu
membantu peserta didik (pelajar/mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang
mantap dan mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada
berbagai pilar tidak pernah sampai kepada tingkatan “joy of discovery” pada
pilar “learning to know”, tingkatan joy of being succesful in achieving
objective, pada “learning to do”, dan tingkatan joy of getting together to
achieve common goal.
Hanya dengan penerapan keempat pilar
tersebut upaya menghadapi tantangan jaman melalui pengembangan kemampuan dan
pembentuk watak akan dapat secara efektif berhasil. Dan ini akan benar-benar
terwujud bila ditunjang dengan sistem evaluasi yang relevan, komprehensif,
terus menerus dan obyektif dapat dilaksanakan serta didukung dengan dipenuhi
standard minimal untuk semua elemen esensial dari pendidikan.
4.
Learning to live together
Akhir-akhir ini
banyak terjadi konflik antar manusia yang didasarkan atas prasangka, baik antar
ras, antar suku, antar agama dan antar si kaya dan si miskin, dan antar negara.
Sejak berakhirnya Perang Dunia ke II berbagai deklarasi untuk menjadi dasar
penyelesaian konflik seperti Deklarasi HAM, piagam PBB. Bangsa kita sendiri
memiliki landasan pandangan hidup Pancasila yang hakekatnya adalah untuk
membangun negara kebangsaan yang demokratis, berkeadilan sosial, ber-Ketuhanan
yang Maha Esa, dan menggalang persatuan dan persaudaraan bukan hanya antar
warga bangsa melainkan dengan seluruh umat manusia seperti dinyatakan dalam
kalimat “ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan
perdamaian abadi”. Komisi Internasional untuk pendidikan abad ke-21 mengakui
sulitnya menciptakan kerukunan, toleransi dan saling pengertian dan bebas dari
prasangka.
Pendidikan untuk mencapai tingkat
kesadaran akan persamaan antar sesama manusia dan terdapat saling
ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dengan pendidikan dengan
pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam
waktu yang relatif lama. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral
yang disarankan Israel Scheffler sangat memadai. Suatu prinsip yang memerlukan
suasana belajar yang secara “inherently” mengandung nilai-nilai toleransi
saling ketergantungan, kerjasama, dan tenggang rasa. Ini diperlukan proses
pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Kegiatan
“camping” yang berlangsung mingguan dengan sasaran bersama yang harus dicapai
oleh seluruh peserta merupakan salah satu model yang perlu ditempuh. Model
sekolah berasrama dan kampus yang merupakan kawasan tersendiri merupakan
pendekatan yang ditempuh Inggris dan Amerika Serikat dalam membangun bangsa
yang bersatu. Kiranya bangsa Indonesia perlu belajar dari negara lain.
Referensi:
Persentasi Mahasiswa tekpend A Tanggal 17 Oktober 2013
Dokumen UNESCO Learning to know,Learning to do,Learning to be,Learning to live together
Menangkan Jutaan Rupiah dan Dapatkan Jackpot Hingga Puluhan Juta Dengan Bermain di www(.)SmsQQ(.)com
BalasHapusKelebihan dari Agen Judi Online SmsQQ :
-Situs Aman dan Terpercaya.
- Minimal Deposit Hanya Rp.10.000
- Proses Setor Dana & Tarik Dana Akan Diproses Dengan Cepat (Jika Tidak Ada Gangguan).
- Bonus Turnover 0.3%-0.5% (Disetiap Harinya)
- Bonus Refferal 20% (Seumur Hidup)
-Pelayanan Ramah dan Sopan.Customer Service Online 24 Jam.
- 4 Bank Lokal Tersedia : BCA-MANDIRI-BNI-BRI
8 Permainan Dalam 1 ID :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar66
Info Lebih Lanjut Hubungi Kami di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com